Gus Dur, NU, dan Perjuangan "Civil Islam"

SEIRING turunnya Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai presiden, sebenarnya ada hikmah dan berkah luar biasa bagi segenap umat Muslim Indonesia, ketimbang rasa nelongso dari nahdliyin, yang merasa figur panutannya diturunkan paksa oleh MPR melalui Sidang Istimewa 21 Juli 2001.

Gus Dur sudah turun dari kursi kepresidenan, namun Gus Dur akan terus memperjuangkan demokrasi dengan menggandeng Rachmawati Soekarnoputri sampai titik darah penghabisan, meski harus berlinang air mata darah. (Kompas, 27/7/2001)Proses turunnya Gus Dur dari kursi presiden telah membuka mata kita, paling tidak terhadap orang-orang yang sebelumnya memandang secara sinis, under estimate terhadap para pendukung Gus Dur dari nahdliyin bahwa mereka mungkin akan "ngamuk" karena kiainya diturunkan, ternyata hanya isapan jempol. Semua prediksi benar-benar mental, tertolak dengan kedewasaan yang diberikan para pendukung Abdurrahman Wahid yang terkenal fanatik terhadap "gurunya". Hal ini salah satunya tentu berkat kesigapan para kiai yang ada di belakang Gus Dur untuk menyadarkan jemaahnya, selain peran Gus Dur sendiri yang bersikap masa bodoh terhadap SI yang digelar untuk menurunkan dirinya, bahkan sebelumnya Gus Dur dengan tegar mengeluarkan dekrit yang akhirnya benar-benar dilematis buat Gus Dur sendiri. Kiai "Langitan" katanya ada di belakang keluarnya dekrit, selain beberapa NGO. Namun, sudahlah, tidak usah berpanjang-panjang memperdebatkan siapa yang menjadi "aktor" dikeluarkannya dekrit itu.

Tentu ada yang tidak rela karena Gus Dur diturunkan secara paksa oleh MPR, yakni mereka yang tergolong "santri-santri militannya Gus Dur". Massa inilah yang menurut hemat saya harus menjadi agenda utama perjuangan Gus Dur setelah turun dari jabatan presiden, sehingga nahdliyin sebagai warga terbesar di negeri ini akan semakin jelas perannya dalam memperjuangkan cita-cita civil Islam. Civil Islam akan menjadi gerakan keagamaan yang santun, ramah, serta humanis sebagaimana sifat asli dari agama-agama. Di sini perjuangan Gus Dur dengan NU bisa kita harapkan ke depan. Oleh sebab itu, tulisan ini tidak akan membahas proses turunnya Gus Dur dari kursi presiden, karena banyaknya polemik yang ada di sana. Tulisan ini akan memfokuskan pada tema civil Islam dari NU dengan Gus Dur sebagai motornya.

Perjuangan "Civil Islam"
Kita memang tidak ragu mengatakan bahwa NU memiliki jamaah yang sangat besar di Indonesia. Oleh karena itu, warga yang besar ini akan sangat berpengaruh dalam menentukan hitam-putihnya bangsa ini. Apabila pengaruh yang dibawanya adalah yang jelek, maka warna yang akan berkembang adalah yang jelek (baca: hitam). Tetapi, jika pengaruh yang berkembang adalah pengaruh yang baik, maka yang akan berkembang adalah warna yang baik (baca: putih). Untuk menuju pengaruh yang putih tersebut dibutuhkan perjuangan yang serius, sistematis, dan kontinyu, bukan gradual dan parsial.

Sebagai gerakan keagamaan, NU sebenarnya sudah cukup memiliki basis massa. Hanya disayangkan acapkali tidak dikelola secara maksimal sehingga sumber daya yang melimpah tersebut terkesan berserakan tidak beraturan. Akibat dari pengelolaan yang kurang maksimal tersebut, cita-cita yang pernah dilemparkan Gus Dur yakni NU sebagai gerakan Islam kultural, atau dengan sebutan gerakan "pribumisasi Islam" seakan-akan berhenti pada tataran elite NU saja, tidak tertransformasi sampai tataran grass root. Padahal kita ketahui, tataran grass root inilah yang sangat penting diperhatikan karena akan sangat membantu perjuangan yang selama ini Gus Dur lakukan.
Gus Dur, yang mantan presiden kita, itu memang bukan orang baru dalam wacana civil society maupun civil religion sebagaimana digalakkan di dunia lembaga swadaya masyarakat (LSM/NGO). Sejak tahun 1970-an, Gus Dur telah aktif di pelbagai LSM yang banyak dikenal orang sebagai salah satu organisasi nonpemerintah yang getol memperjuangkan civil society, sekalipun istilah civil society di Indonesia baru ramai dibicarakan sejak awal tahun 1990-an, namun perjuangannya sudah sejak lama dikenal oleh publik dengan model pelatihan, pendidikan politik, advokasi, atau lokakaryanya.

Sebagai orang yang lama terlibat aktif dalam gerakan civil society, maka berharap pada Gus Dur untuk tampil kembali dalam memperjuangkan civil Islam lewat NU buat saya bukanlah hal yang berlebihan. Gus Dur jelas memiliki kemampuan untuk itu, tanpa mengabaikan kiai-kiai yang lain, baik dari lingkungan NU sendiri maupun di luar NU (baca: Muhammadiyah), misalnya. Sifat kritisnya terhadap rezim berkuasa merupakan modal yang sangat berharga bagi menjadi alat kontrol yang efektif. Sifat kritis Gus Dur sudah terbukti sejak rezim Soeharto berkuasa, sehingga Gus Dur dikuyo-kuyo bersama Sri Bintang Pamungkas dan Megawati Soekarnoputri sebagai Ketua Umum PDI Presiden (kini Presiden RI).

Modal lainnya dari Gus Dur untuk memperjuangkan tumbuhnya civil Islam adalah sifat independen dan liberalnya. Independensi dalam berpikir serta liberalnya pemikiran Gus Dur akan memberikan nilai tersendiri bagi masyarakat, pengikut maupun pengagum, sekaligus rival-rivalnya. Independensi pemikiran ini merupakan modal sangat mahal harganya, apalagi pada saat kita sulit menemukan orang yang berani berkorban demi orang banyak dengan mengorbankan kepentingan pribadi, keluarga, dan teman-temannya. Pengalaman rezim Soeharto telah membuktikan bagaimana orang-orang independen (baca: intelektual independen) ibarat binatang langka, karena memang setiap hari segala sepak terjangnya diawasi untuk dicari-cari kesalahannya, kemudian dijebloskan dalam penjara. Gus Dur adalah salah satu dari intelektual yang tidak luput dari incaran rezim ketika itu. Dengan demikian Gus Dur sudah sangat terbiasa dengan tekanan, ancaman, maupun teror.

Oleh karena, independensi dan liberalnya pemikiran yang dikembangkan oleh Gus Dur, NU di bawah pimpinannya-ketika itu dan berimbas sampai sekarang-bisa dibilang menempati posisi utama dalam proses demokratisasi dan civil society. NU berkembang menjadi organisasi "tradisional" yang sangat progresif dan maju. Sekarang inilah saatnya Gus Dur kembali membawa warga NU dan masyarakat Indonesia pada umumnya untuk memperjuangkan civil Islam sehingga Islam di negeri ini tidak tampil sebagai agama yang sangat menakutkan dan kejam.

Apakah Gus Dur akan berhasil dalam memperjuangkan civil Islam atau gagal, terletak dari kesabaran Gus Dur sendiri untuk melakukan transformasi sikap independensinya dan pemikiran yang selama ini menjadi trade mark-nya. Di samping itu, ditentukan pula oleh kesiapan nahdliyin untuk menerima sikap dan pemikiran Gus Dur yang memang kadang-kadang sulit dipahami dan dimengerti. Oleh karena itu, Gus Dur benar-benar dituntut sabar dan tidak memaksakan pendapatnya, karena hal ini akan menjadi preseden buruk bagi Gus Dur sendiri dan perkembangan demokrasi yang diharapkan lahir dari civil Islam.

Salah satu metode-bila boleh dikatakan demikian-untuk melakukan transformasi sikap dan pemikiran Gus Dur yang memang sangat kita perlukan sekarang ini adalah dengan men-training kiai-kiai muda (Gus-Gus di lingkungan pesantren) secara intensif berkaitan dengan tema-tema demokrasi, HAM, pluralisme, dan jender yang diset dengan meminjam tradisi pendidikan Paulo Freire, yaitu pendidikan yang membebaskan, terutama bagi mereka yang terpinggirkan dan tertindas serta pengembangan wacana keagamaan yang inklusif-dialogis.

Dengan setting semacam itu, saya kira perjuangan Gus Dur tentang civil Islam secara perlahan-lahan, namun pasti akan bisa terwujud, karena secara basis massa mereka memiliki dan bisa ditularkan terus-menerus. Mengapa harus dengan model pendidikan yang membebaskan dan wacana agama yang inklusif-dialogis, hal ini karena selama ini pendidikan yang dikembangkan di negeri ini adalah pendidikan yang monolog, sehingga bersifat indoktrinasi, tidak memberikan ruang untuk berbeda pendapat, berpikir alternatif. Akibat yang sudah kita peroleh adalah banyak orang berpendidikan, namun moralitasnya nol besar. Orang berpendidikan, tetapi nilainya sangat jauh sehingga tetap bermental korup, bermental babu, jongos, serta tumbuh menjadi "intelektual tukang", yang kerjanya melakukan "pelacuran intelektual".

Berkaitan dengan keharusan wacana agama yang inklusif-dialogis hal ini karena selama kurang lebih 32 tahun yang, rezim Soeharto dengan sangat rapi dan sistematis menjadikan agama tak lebih sebagai justifikasi dan legitimasi politik kekuasaan. Akibatnya, agama tidak memiliki daya kritis dan progresifnya yang sebenarnya menjadi ciri utama profetik agama-agama. Agama senantiasa berada di bawah "ketiak" kekuasaan, sehingga agama menjadikan orang beragama sangat intoleran terhadap sesama pemeluk agama, dialog tidak pernah terjadi karena mendialogkan masalah-masalah yang berkaitan dengan agama akan dicap "pemberontak", menggugat bahkan mengingkari agama itu sendiri, sehingga layak untuk dilenyapkan (baca: halal darahnya, alias boleh dibunuh). Pendek kata, sesama pemeluk agama menjadi saling mengancam atau terancam.
Untuk menghindari berkembangnya wacana agama yang demikian sadis, kejam, dan mengancam seperti itu Gus Dur beserta para pengikut setianya harus memperhatikan masalah ini sebagai problem serius, setidaknya menjadi salah satu agenda utama sehingga kesalahan pada masa rezim Soeharto tidak terulang kembali.

Sebagai penutup, dukungan yang telah diberikan oleh beberapa intelektual seperti Goenawan Mohamad, Hermawan Sulistyo, Eep Saefullah Fattah, Emmy Hafild, serta Sandyawan Sumardi, terhadap Gus Dur setelah turun jadi presiden untuk memperjuangkan demokrasi harus terus dijaga dan dikembangkan untuk membangun dan menumbuhkan civil Islam karena akan sangat bermanfaat bagi Indonesia yang majemuk dari segi agama.
Apabila terdapat kritik yang tajam terhadap NU yang dianggap telah keluar dari Khittah 1926, karena NU dianggap telah berpolitik praktis, maka sekarang inilah saatnya bagi Gus Dur untuk menempatkan kembali NU sebagai basis perjuangan civil Islam di Indonesia. Dengan demikian, kritik yang dilontarkan menjadi cambuk yang sangat bermanfaat bagi NU sendiri serta jamiahnya untuk membawa kembali NU sebagai gerakan sosial keagamaan, bukan gerakan politik praktis karena banyaknya kiai yang masuk dalam partai politik.

Relevansi perjuangan atas civil Islam oleh Gus Dur dengan NU-nya menurut hemat saya sangat tepat, apalagi belakangan tuntutan beberapa kelompok yang mengatasnamakan Islam, (FPI, Front Pembela Islam Surakarta, PPMI, Persaudaraan Muslim Sedunia) dengan gencarnya mengupayakan berlakunya syariat Islam, atau berlakunya negara Islam di Indonesia, (Kompas, 28/8) di mana hal ini diakui atau tidak masih menyisakan banyak pertanyaan dan ketakutan. Dengan perjuangan civil Islam yang Gus Dur lakukan akan menjadikan Islam yang benar-benar agama sipil, agama yang berwajah santun dan tidak formalistic.

Safari Gus Dur ke pesantren-pesantren belakangan ini juga akan dengan sendirinya makin "mendekatkan Gus Dur" dengan habitatnya, sehingga lama-lama, secara perlahan, namun bisa dipastikan akan terimbas oleh "virus" liberalisme pemikiran keagamaan Gus Dur yang sangat menekankan pada Islam substantif dan toleran, ketimbang Islam formalis dan intoleran. Di sinilah kemudian civil Islam yang diperjuangkan Gus Dur dengan NU-nya akan cepat menjadi kenyataan, di mana gerakan keagamaan belakangan semakin semarak dan mengarah pada radikalisme yang formalistis.

Oleh : Zuly Qodir, alumnus Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak Bantul, DI Yogyakarta. Peneliti di Institut DIAN/Interfide Yogyakarta.

Sumber: Kompas / Rabu, 3 Oktober 2001