Rekonstruksi Paradigma Pendidikan-Industri

Pada era 80-an, pemerintah --dalam hal ini kementerian pendidikan dan kebudayaan yang sekarang menjadi pendidikan nasional-- membangun paradigma pendidikan yang dikenal dengan pendidikan "siap-pakai". Implementasinya adalah dengan berdirinya program pendidikan SO-3 atau program pendidikan nongelar, khususnya untuk bidang teknologi dan ekonomi.

Hal ini menjelaskan satu hal, bahwa bidang teknologi dan ekonomi menjadi prioritas pembangunan nasional pada saat itu. Berbagai diskusi hingga kritik pun silih berganti, dan lahirlah program politeknik untuk lebih mempertegas implementasi kebijakan yang ada.

Paradigma ini masih berlanjut hingga era 90-an. Dan, tidak hanya terbatas pada pendidikan tinggi, tapi juga pada tingkat sekolah menengah --khususnya sekolah menengah atas. Pada saat yang sama, pemerintah juga menggalakkan balai-balai latihan kerja (BLK) untuk mereka yang putus sekolah.

Hal yang "menarik" di sini adalah kesungguhan pemerintah untuk mencari solusi bagi para lulusan perguruan tinggi maupun sekolah menengah, agar dapat menyesuaikan diri pada dunia kerja --dalam hal ini jelas adalah dunia industri. Lebih jauh lagi, tentunya untuk mengurangi pengangguran para tenaga terdidik. Pada tingkat ini, tentunya semua pihak sangat mendukung dan memberikan apresiasi yang positif. Namun, program tersebut tidak seindah yang tertulis di dokumen-dokumen yang ada. Paling tidak, terdapat ketidaksiapan pemerintah dalam tiga hal.

Pertama, menyesuaikan kurikulum pendidikan yang benar-benar sesuai dengan karakter industri yang sedang berkembang, karena dunia industri ternyata berkembang lebih cepat dibandingkan dengan kurikulum pendidikan yang diajarkan di bangku pendidikan. Antisipasi kurikulum sebagai akibat langsung sentralisasi peyelenggaraan pendidikan --hingga saat ini pun masih menjadi momok bagi lembaga pendidikan-- justru melemahkan "niat baik" dari kebijakan yang telah ditelurkan dengan susah payah itu.

Kedua, hubungan dengan dunia industri nyaris dipaksakan, karena ketiadaan keterlibatan pihak industri dalam turut serta mempersiapkan tenaga terdidik tersebut. Dunia industri mengalami hambatan signifikan dalam sejumlah hal, terutama mentalitas bekerja, sikap, dan perilaku, hingga kemampuan (skill) khusus yang dibutuhkan industri yang bersangkutan.

Rekrutmen dari tenaga ahli di suatu industri tidak mudah dilakukan karena terdapat berbagai aturan yang menutup peluang bagi tenaga ahli yang hanya mengandalkan pengalamannya, bukan sertifikat formal yang dituntut oleh pemerintah. Persoalan sertifikasi mengajar ini tidak diantisipasi dengan tepat. Ketiga adalah pengalaman menghadapi dunia kerja-industri yang spesifik, seperti rutinitas, disiplin, dan kepatuhan pada mekanisme kerja di dunia industri yang bersangkutan.

Memasuki tahun 2000, kementerian pendidikan kembali menelurkan sebuah kebijakan untuk memberikan jawaban atas persoalan yang ketiga di atas, yakni dengan program yang dinamakan "Co-op" (Co-operatif Academic Education). Dalam konteks pengembangan pendidikan terdapat empat program pokok yang hendak dicapai untuk pendidikan dasar, menengah, dan tinggi, yakni kesempatan memperoleh pendidikan, mutu pendidikan, relevansi pendidikan dengan pembangunan dan efisiensi pendidikan.

Di samping memberikan kesempatan berupa pengalaman kerja, program "Co-op" ini diharapkan juga dapat memecahkan dua persoalan lain yang telah disebutkan di atas dengan melakukan berbagai upaya yang selektif, misalnya peserta program "Co-op" ini berkemungkinan mendapat nilai SKS (satuan kredit semester) tertentu, peserta diseleksi berdasarkan hard skill (kemampuan akademis) dan soft skill (kepribadian, kemampuan bersosialisasi dalam dunia industri), maupun adanya kompensasi keuangan bagi peserta "Co-op" hingga jaminan asuransi sesuai dengan kemampuan perusahaan di mana para peserta ditempatkan.

Pertanyaannya sekarang adalah bagaimana daya tampung bagi peserta "Co-op" ini dan kesinambungan program ini dengan memperhatikan karakteristik dunia akademik dan karakter dunia industri itu sendiri, serta pertumbuhan perekonomian Indonesia yang dalam beberapa tahun ke depan masih diperkirakan akan menurun dan sampai pada titik yang lemah dan lesu.

Daya tampung bagi peserta "Co-op" pastilah cukup terbatas. Untuk itu, pemerintah harus segera memikirkan bukan saja bagaimana menyalurkan para calon peserta "Co-op", tetapi juga memberikan solusi bagi pertumbuhan industri tersebut. Jadi, program ini bukan saja berawal dan berakhir di tangan kementerian pendidikan, tetapi juga harus lintas sektoral dengan kementerian perindustrian dan perdagangan serta Bappenas.

Memang, Tim Koordinasi Perencanaan Pendayagunaan Dana Luar Negeri untuk Pendidikan dan Pelatihan (Timkorrenda Diklat) terlibat dalam program ini, namun koordinasi ke kementerian perindustrian dan perdagangan juga memiliki peran signifikan, bahkan serikat pekerja pun sangat mungkin untuk memiliki peran dalam membantu terciptanya iklim kerja yang kondusif.

Hal ini mengingat banyaknya program penggunaan tenaga kerja yang bersifat "nonformal" maupun kontrak seperti ini, tidak terjamin sepenuhnya hak-hak yang menjadi segmen penting bagi kelancaran kerja yang dilakukannya.

Meskipun memiliki kelemahan daya tampung --bukankah daya tampung yang kecil justru akan mengefektifkan penyaringan peserta-- program ini masih sangat mungkin memiliki kesinambungan. Namun, persoalan yang sangat krusial adalah karakteristik dunia pendidikan-industri itu sendiri yang berbeda.

Pada tingkat yang paling dini, yakni ketika seorang calon peserta Co-op memasuki lembaga pendidikannya, sudah harus terlebih dahulu diperkenalkan rancangan program ini secara terbuka. Tujuan utamanya adalah merangsang iklim kompetitif bagi calon peserta Co-op, dan memberikan kesempatan bagi calon peserta untuk melakukan berbagai persiapan dan antisipasi logis untuk bidang yang akan menjadi wilayah kerjanya.

Dunia pendidikan kita sekarang sesungguhnya nyaris bergerak bertolak belakang dengan karakter dunia industri. Materi pengajaran yang konsepsional nyaris tidak aplikatif, kecuali ketika seseorang sudah memasuki jenjang pendidikan S-2.

Seharusnya, metode pengajaran yang kini diselenggarakan di program S-2 merupakan metode yang diselenggarakan di S-1. Yakni, metode yang lebih mengaktifkan peserta didik dalam melakukan apresiasi di dunia di luarnya. Bila ini dilakukan, barulah terjadi kesetaraan pada tingkat yang paling mendasar antara pendidikan-industri.

Kekecewaan dunia industri selama ini juga terletak pada kesiapan mental untuk bekerja. Banyak kalangan peserta didik di tingkat S-1 ke bawah yang tidak memiliki daya juang dalam menghadapi pekerjaan. Mereka lebih mementingkan hasil ketimbang proses. Lebih mementingkan pendapatan (gaji) ketimbang keringat yang dikeluarkannya sebagai manifestasi dari pendapatan yang diterimanya.

Ini merupakan situasi buruk yang menimpa angkatan kerja di Indonesia pada segala tingkat. Hal ini lebih diperburuk lagi dengan berbagai persoalan yang meliputi kredibilitas pendidikan yang diterimanya.

Program Co-op yang baru saja diluncurkan Dirjen Dikti Depdiknas ini diharapkan sudah memulai tingkat kehati-hatian di awal kerjanya. Hal ini bukan saja menyangkut terselenggaranya program tersebut, tetapi menyangkut masa depan dunia kerja dan kualitas produk yang dihasilkan oleh tenaga kerja Indonesia di masa depan.

Dan, pedoman yang kini telah disosialisasikan di dunia kampus supaya lebih merata didapatkan oleh semua perguruan tinggi dan pihak-pihak yang ingin terlibat dalam program ini, terutama dunia industri yang memiliki kepentingan mendapat tenaga kerja yang berkualitas.

Program Co-op ini secara intrinsik juga telah mencoba mengatasi hal-hal yang kini menjadi program hubungan antara pendidikan-industri. Untuk itu rekonstruksi penting yang perlu dilakukan adalah kesamaan pandangan dalam hubungan dunia pendidikan dan industri tanpa mengorbankan satu pihak mana pun, termasuk calon peserta Co-op dan dunia industri itu sendiri.

Di samping itu, dunia industri juga harus lebih realistis dalam memandang, sejauh mana kualitas sumber daya yang mereka dapatkan tersebut berhubungan signifikan dengan kualitas produk yang akan dipasarkan.

Masyarakat luas, tentu sangat berharap, bahwa dunia pendidikan dan industri benar-benar dapat saling memberikan kontribusi, sehingga dunia pendidikan pun memiliki arah yang konstruktif dalam membangun penyelenggaraan pendidikannya, baik kurikulum maupun keahlian dan kerja sama yang dibangunnya.

-------------------------------
oleh: Autar Abdillah Penulis adalah pendiri Education Watch, staf pengajar Sendratasik FBS-Unesa, dan Kasubag Humas (YPTA) Untag Surabaya.


Sumber: Surabaya Post | 30-11-2001