Refleksi Nuzulul Quran Membangun kembali etos agama peradaban

Alquran sebagai teks inti (core texts) dalam sistem keberagaman umat Islam, papar Abu Zaid lebih lanjut, memiliki peran budaya yang tidak dapat diabaikan dalam membentuk wajah peradaban dan menentukan watak ilmu-ilmunya.

Dari perspektif imani, apa yang dilontarkan Abu Zaid itu merupakan afirmasi terhadap apa yang telah menjadi keyakinan absolut umat Islam terhadap kitab sucinya, Alquran. Dalam kerangka akidah umat Islam, Alquran diyakini sebagai pedoman hidup, tanpa sedikit pun perlu diragukan.

Di luar perspektif imani ini, kita dapat menangkap makna tersirat dari lontaran Abu Zaid di atas, bahwa Islam memiliki keunggulan pada segi otentesitas, karena peradaban yang muncul -- tanpa menegasikan pengaruh peradaban di luar Islam, seperti Yunani -- yang terinspirasi oleh teks Alquran.

Dengan ini bisa dikatakan pula, peradaban dalam Islam tumbuh dan berkembang karena adanya dorongan yang kuat dari ajaran agama. Dengan kata lain, dalam diri Islam terkandung suatu etos yang disebut sebagai agama peradaban. Hal ini jelas memiliki perbedaan mendasar, misalnya dengan perkembangan peradaban pada abad pencerahan yang identik dengan gagasan tentang kemajuan sosial, baik dalam bentuk kemenangan akal dan rasionalitas terhadap dogma maupun doktrin agama, memudarnya norma-norma lokal tradisional dan perkembangan pesat ilmu pengetahuan danteknologi (Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat, Gramedia, 2001).

Berbeda sekali dengan Islam, peradaban pada abad pencerahan yang agaknya terus berlanjut pada era modern ini, dimulai dengan terlebih dahulu melakukan desakralisasi dan sekularisasi terhadap agama.

Implikasi yang ditimbulkan kemudian, memang begitu luar biasa. Peradaban di Barat berkembang begitu akseleratif serta menjadi ikon peradaban global. Tapi berkelindan dengan terjadinya akselerasi dan kemajuan itu, Barat menjadi lahan subur bersemainya sejumlah krisis fundamental. Dalam wujudnya yang kontemporer, Barat dari sisi kemajuan iptek mengalami, antara lain seperti disebut oleh John Naisbitt dalam bukunya High Tech, Hight Touch, (Mizan 2001) sebagai zone mabuk teknologi. Yaitu berkembangnya teknologi tinggi, tetapi jauh dari sentuhan kemanusiaan.

Kembali kepada peeradaban Islam, kenapa Alquran bisa menginspirasi munculnya peradaban? Marshall Hodgson (dalam Mochtar Pabottinggi, Islam antara Visi Tradisi dan Hegemoni Bukan Muslim, YOI, 1986) menemukan jawaban pada kualitas umat Islam sendiri yang ia sebut sebagai komunitas yang taat pada ajaran-ajaran Alquran. Ketaatan yang dimaksud Hodgson tentu saja bukan semata-mata ketaatan verbalis, yang agaknya sebagai suatu kewajaran, mengingat bahasa yang digunakan Alquran memudahkan mereka bila hanya sekadar membacanya.

Di lingkungan masyarakat kita, ketaatan verbalis seperti ini juga telah lama berkembang sebanding dengan pesatnya perkembangan lembaga pendidikan Islam, yang antara lain menjadikan Alquran sebagai core curriculum. Toh ketaatan yang demikian belum begitu signifikan hasilnya, karena yang muncul kemudian adalah komunitas pencita terhadap artistikal Alquran, seperti tradisi tadarus (membaca) Alquran di malam bulan Ramadan ini.

Lebih dari sekadar verbalisasi pesan-pesan Alquran tersebut, ketaatan terhadap ajaran Alquran perlu didasarkan pada pemahaman yang tercerahkan, agar bisa dicari makna kontekstual dan kaitan dialektisnya dengan realitas yang berkembang dalam kehidupan masyarakat. Bentuk ketaatan semacam inilah kira-kira yang dimaksud dengan komunitas yang taat oleh Hodgson, yang terbukti melahirkan pengaruh luar biasa bagi tumbuh dan berkembangnya sebuah peradaban.

Topangan metodologis jelas sangat dibutuhkan, agar ketaatan ini bisa ditumbuhkan. Yaitu, dengan mengembangkan tradisi hemmeneutik dalam membaca teks Alquran.

Sulit dibayangkan, sebuah teks dapat melahirkan kekuatan sejarah, jika teks hanya dibiarkan apa adanya, tanpa diimbangi dengan pemahaman dengan suatu kerangka metodologi yang kokoh, seperti yang dimiliki oleh hermeneutika. Sampai di sini bisa ditarik suatu pernyataan konklutif, kemajuan peradaban yang ditorehkan oleh generasi Islam terdahulu, karena berkat kemampuannya mengembangkan tradisi hermeneutik dalam membaca teks Alquran. Yang spektakuler berkat tradisi hermeneutik ini peradaban Islam mencatat pestasi di bidang keilmuan, yang nantinya memberikan pengaruh signifikan terhadap kemajuan peradaban di luar Islam, seperti yang telah dialami oleh Barat.

Tak diragukan lagi, teks Alquran, seperti dikemukakan oleh Komarudin Hidayat dalam bukunya Memahami Bahasa Agama (Paramadina 1996), nemantulkan gerak sentrifugal terhadap umat Islam untuk melakukan penafsiran dan pegembangan makna atas ayat-ayatnya, yang untuk selanjutnya terjadilah pengembangan intelektual, karena dorongan Alquran tersebut.

Sebagai contoh adalah konsep ilmu yang diakui oleh beberapa sejarah Islam non-Muslim, seperti Franz Rosenthal, sebagai salah satu konsep kunci dalam Alquran yang terbukti berperan menentukan dalam pembentukan peradaban Islam.

Bila ditarik dalam konteks sejarah yang dialami oleh umat Islam pada awal milenium ketiga ini, segera akan muncul romantisme untuk menyajikan kembali eksemplar sejarah Islam tersebut. Kenapa romantisme? Adalah fakta yang tidak terbantahkan, peradaban di abad ini tidak berada dalam hegemoni umat Islam, melainkan dalam hegemoni Barat. Tidak perlu diungkap akibat yang harus diterima oleh umat Islam dalam posisinya yang marginal. Seperti pada kasus 11 September lalu di New York, Islam menjadi sasaran empuk pihak Barat.

Di tingkat opini, misalnya karena lemahnya infrastruktur di bidang teknologi informasi dan komunikasi, umat Islam terkesan kelabakan dalam membendung arus opini Barat yang prematur: Islam sebagai agama radikal.

Sekedar romantisme, jelas sangat tidak memadai dalam mengembalikan sejarah agar bergerak ke Islam. Hal yang sama juga berlaku pada sikap yang reaksioner, eksklusif, radikal seperti yang ditampilkan oleh beberapa kelompok Islam di tanah air belakangan ini. Sebab, kecuali hanya semakin mengukuhkan citra yang kurang sedap, juga hanya akan semakin mempertebal sikap inferioritas umat Islam terhadap kelompok lain.

Maka, yang perlu dilakukan oleh umat Islam adalah, merumuskan kembali cara pandang yang lebih cerdas terhadap Alquran. Dan, bersamaan dengan ini pula, umat Islam musti secara serius memperbaiki infrastruktur strategisnya, semisal pendidikan yang dapat dijadikan penopang tegaknya kembali Islam sebagai agama peradaban.

Oleh : Syamsul Arifin (Kepala Pusat Studi Islam & Filsafat (PSIF) Unmuh Malang)

Sumber: Surabaya Post | Sabtu, 3 Desember 2001